![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgtAJC1zmnG6JEFinB18WwKsw-VKchTxKd2suO_gV2PoyJMUuW7Cy5xDTYdnlKziNr-vmVeIfchZ28ozVA6Wi_2K3AbnoJYymsnJWsM6J7CQJup0Aoqa0Vb-AFW-Lwsyf3tPlJzfsfk192J/s200/bedaisme.jpg)
Perbedaan
adalah sunatullah. Pluralitas adalah keniscayaan. Namun, perbedaan dan
keragamaan bukan ditonjolkan dengan cara merusak dan melecehkan
keyakinan kelompok lain. Islam menghargai perbedaan, selama perbedaan
itu saling menghormati keyakinan masing-masing, dan selama perbedaan itu
tidak melanggar aturan-aturan hukum yang ada.
Islam menghargai pluralitas, tapi menolak pluralisme. Inilah yang tidak bisa dipahami oleh kelompok Liberal.
Mereka
selalu berkoar-koar menyatakan bahwa negara kita menjamin kebebasan
beragama. Benar memang, Undang-Undang Dasar 1945 menjamin “kebebasan
beragama”, tapi bukan kebebasan “mengacak-acak agama”.
Untuk
mengampanyekan komunitas #BedaIsMe, kelompok liberal mengadakan Apel
Akbar Aksi Cinta Indonesia. Sungguh menggelikan, meski namanya “Apel
Akbar”, namun peserta yang datang hanya segelintir saja, berbeda dengan
Apel Akbar yang seringkali digalang oleh umat Islam yang dihadiri oleh
ribuan, puluhan ribu bahkan ratusan ribu massa. Dalam Apel Akbar Aksi
Cinta Indonesia yang dihadiri oleh beragam kelompok lintas agama dan
keyakinan itu, mereka mengusung tema “Aksi Solidaritas Korban Kekerasan
Atas Nama Agama”. Aksi dilakukan di depan Istana Negara, Ahad
(10/6/2012).
Selain
para aktivis Liberal, aksi segelintir orang itu juga dihadiri oleh
penganut Ahmadiyah, Syiah, Komnas Perempuan, aktivis gereja ilegal
Bekasi, GKI Yasmin Bogor, dan Aceh Singkil, seniman Liberal dan
kekiri-kirian seperti Hanung Bramantyo, dan tak ketinggalan istri dari
mendiang Gus Dur, Sinta Nuriyah. “Pemerintah harus tegas pada pelaku
tindak kekerasan dan intoleransi atas nama agama,” tegas Tantowi,
koordinator aksi komunitas #BedaIsMe.
Mengatasnamakan
Pancasila, komunitas ini menyebut aksi mereka sebagai upaya menjaga
keragaman, kebebasan, dan toleransi. Berdirinya komunitas #BedaIsMe,
menurut mereka, dilatarbelakangi oleh maraknya berbagai aksi kekerasan,
seperti penyerangan terhadap diskusi yang dilakukan oleh lesbi-liberal
Irshad Manji, pelarangan konser Ratu Illuminati dan pemuja setan, Lady
Gaga, dan penyerangan yang terjadi terhadap sekte Syiah di Pamekasan,
Madura, serta penyerangan terhadap kelompok penoda Islam, Ahmadiyah.
“Peristiwa-peristiwa itu ada unsur gagal dan ada unsur membiarkan (oleh
pemerintah, red),” kata Alissa Qatrunnada, putri mendiang Gus Dur.
Selain
keluarga besar Gus Dur, demo kecil-kecilan yang diselenggarakan di
depan Istana Negara itu juga menghadirkan beberapa tokoh yang selama ini
memiliki jejak rekam membela aliran-aliran yang menyimpang. Nama-nama
seperti Eva Sundari (anggota DPR RI dari PDIP), Maman Imanul Haq
(aktivis AKKBB), dan Siti Musdah Mulia tercatat sebagai orang yang
memberikan orasi. Acara ditutup dengan doa lintas iman, sebagaimana
ritual yang seringkali mereka lakukan dalam berbagai acara.
Untuk
menarik minat anak muda agar bergabung dalam komunitas #BedaIsMe, Ahad
sorenya mereka menggelar berbagai pentas seni dan pemutaran film karya
sutradara Liberal, Hanung Bramantyo. Acara yang dilangsungkan di Taman
Ismail Marzuki itu menghadirkan konser bertajuk #BedaIsMe Diversity
Concert: Tribute to Victim of Religious Violence, dengan menghadirkan
artis-artis dan grup musik, seperti Melanie Subono, Zaskia Adya Mecca,
Superman Is Dead, Jogja Hip Hop Foundation, Marjinal,Kill the DJ, dan
para Little Monster alias fans berat Lady Gaga Indonesia.
Dalam
pentas seni malam itu, Hanung Bramantyo memutar film pendek berjudul
“Romi dan Yuli dari Cikeusik”. Film yang dibuat berdasarkan esai puisi
yang ditulis oleh Denny JA (pendiri Lingkar Survey Indonesia) ini
menceritakan tentang kisah kasih antara penganut Ahmadiyah dan putri
dari seorang tokoh garis keras. Film yang diperankan oleh Ben Kasyafani
dan Zaskia Adya Mecca ini sarat dengan propaganda membela Ahmadiyah dan
citra buruk terhadap umat Islam. Seperti ingin meledek umat Islam yang
menolak Lady Gaga, acara pentas seni malam itu juga diisi dengan
flashmob (tarian ala Lady Gaga) yang dilakukan oleh para Little Monster.
Aksi
demo komunits #BedaIsMe seperti ingin menyambut propaganda busuk Barat
yang menyebut Indonesia sebagai negeri yang tidak toleran. Kelompok yang
mengalami disorientasi dalam beragama ini seperti menari-nari di atas
tabuhan genderang Barat yang memang memiliki kepentingan untuk
memasarkan produk-produk Sekular-Liberal mereka. Demonstrasi yang mereka
lakukan semakin menguatkan dugaan, bahwa merekalah yang selama ini
menjelek-jelekkan pemerintah Indonesia kepada dunia internasional.
Padahal,
kalau mereka mau membuka mata dan menggunakan akal sehat, di
negara-negara Eropa-lah pelanggaran terhadap kebebasan beragama
seringkali terjadi dan menimpa umat Islam. Di Jerman misalnya, seorang
Muslimah berjilbab dibunuh di dalam ruang pengadilan, di depan majelis
hakim yang katanya terhormat. Di Prancis, Muslimah yang mengenakan cadar
mendapat cemoohan dan intimidasi. Di Swiss, menara masjid dilarang. Di
Amerika, rencana pembangunan masjid mendapat teror dan vandalisme. Di
Denmark, seorang kartunis melecehkan Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi
wasallam. Fakta-fakta itu hanya sebagian saja yang diungkap oleh media
massa. Jadi, kalau kelompok Liberal di Indonesia mengadu ke
lembaga-lembaga di Eropa, itu sama saja bercermin pada air comberan!
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !