Istilah teror
pendidikan pasti terkesan tabu di telinga masyarakat, sebab kerangka pikir yang
tertanam di kepala mereka selalu mengasosiasikan pendidikan dengan hal positif,
aura kebaikan seakan senantiasa mengiringi kata tersebut, bukankah dalam terma mapan pendidikan
didefenisikan sebagai sebuah proses
sistematis dalam rangka mencerdaskan manusis, kata “cerdas” pasti dipahami
sebagai sesuatau yang bersifat
positif. Dari perspektif logika formal pendidikan yang hari ini dianut sebagai
sebuah defenisi paten dalam dunia pendidikan maka penjelasan tentang terma
pendidikan seakan tidak mendapati masalah sedikitpun, justru keganjilan terma pendidikan akan muncul jika kosakata pendidikan dipersandingkan dengan
kata teror, bukan saja akan sulit diterima bahkan terbuka kemungkinan ia akan
ditolak mentah – mentah, mungkin juga akan muncul spekulasi bahwa statement
semacam ini tak lebih dari salah satu upaya mencari popularitas, atau ada juga
yang tidak tertarik memperbincangkannya karena dianggap akan mendatangkan
implikasi negatif belaka bagi jagad pendidikan, namun sejahat itukah
asumsi yang mendasari munculnya ide
kreatif tentang penggunaan istilah teror pendidikan, layakkah kita mencari
popularitas ditengah kondisi pendidikan yang memilukan atau yang paling bijak
adalah bersama – sama mencari solusi agar menemukan celah untuk keluar dari
kebuntuan pendidikan formal.
Serangkaian asumsi yang bisa muncul terkait
penggunaan terma “teror pendidikan”
hendaknya dimafhumi bahwa pendidikan masih sering ditilik dalam nuansa
simplistis sehingga selalu saja terjadi proses reduksi dalam memahami makna substansi pendidikan. Disisi lain istilah
tersebut akan sukar diterima
mengingat dua kata yang pada dasarnya
kontradiksi namun dipersandingkan dalam satu rangkaian istilah yakni “teror
pendidikan”, kata teror dalam sepanjang sejarah pembentukan katanya hingga
melahirkan pemaknaan selalu mempertegas diri bahwa ia merupakan salah satu
derivasi makna umum tentang keburukan, sementara kata pendidikan dalam rentang
historisnya selalu berdiri di tanah kebaikan. Mungkinkah yang baik dan buruk
akan bertemu dalam satu rangkaian istilah tanpa melahirkan keterpecahan makna
sebab kedua kata tersebut masing- masing berdiri diatas dua makna yang sangat
berjarak, bila penjelasan terhenti
sampai disini saja maka itu sama saja dengan meninggalkan pembaca
didalam lautan kebingungan tanpa petunjuk arah sehingga mereka tidak pernah
mampu mencapai daratan pemahaman. Memang dibutuhkan sistem penjelas lanjutan
supaya judul tulisan diatas mampu terpahamkan kepada pembaca agar para pembaca tidak terseret kedalam
sudut gelap mispersepsi, akan tetapi sebelum sampai kesana maka paling tidak
penulis berusaha memberikan sentilan – sentilan pertanyaan guna memeriksa
kembali kemapanan pemahaman kita walaupun pada dasrnya semua pertanyan tersebut
akan terjawab denagan sendirinya dalam untaian kata – kata yang akan tampil pada
paragraf selanjutnya. Sebagaimana lazimnya, untuk menguraikan sebuah istilah
tabu maka perlu diberikan prolog yang dianggap memancing rasa ingin tahu
pembaca sekaligus berusaha menyentak kesadaran mereka akan hal – hal yang
selama ini dianggap biasa – biasa saja dan dan tidak perlu diutak – atik lagi.
Dalam perspektif masyarakat awam, budaya yang tumbuh
dalam dunia pendidikan dianggap sudah tepat sehingga peserta didik hanya
diharuskan untuk mengikuti mekanisme budaya yang sudah ada tanpa perduli apakah
ia suka atau benci, benarkah budaya yang hidup dalam dunia pendidikan sudah se elegan
itu? Untuk menjawab pertanyan ini maka kita perlu merenungi kembali tujuan
hakiki pendidikan yakni “memanusiakan
manusia”, bila diperhatikan dengan cermat maka minimal bisa dibuat dua poin
penafsiran, yaitu bahwa usaha “memanusiakan manusia” harus dipandang dari sisi
eksternal dan internal kemanusiaan, dari sisi eksternal maka tingkat kecerdasan intelektual menjadi
salah satu tolok ukurnya, sementara dari segi internal kemanusiaan maka
karakter/mental dan spiritualitas mesti menjadi cermin dalam menentukan tingkat
keberhasilan pembentukan kualitas manusia. Tujuan mulia pendidikan itu
sekaligus memafhumkan kepad kita bahwa ia tidak bisa dicapai dalam waktu sangat
singkat lewat mekanisme sim sala bim akan tetapi ia membutuhkan serangkaian
proses panjang serta menuntut kita untuk tidak jenuh dalam mewujudkannya.
Penting untuk dicatat bahwa selama ini usaha menciptakan manusia utuh lebih
diarahkan pada penciptaan kualitas eksternal sehingga ukuran kecerdasan
intelektual selalu menjadi barometer tunggal, ironisnya karena aspek
pembentukan internal kemanusiaan seakan dianggap tidak urgen, maka terciptalah
pribadi – pribadi yang berotak kuat namun miskin karakter dan gersang spiritualitas.
Tentunya kita tidak bisa berharap banyak dari jenis manusia semacam ini,
terlebih lagi dalam suasana dimana masyarakat merindukan pemimpin yang memiliki
karakter. Lantas adakah benang merah antara pembentukan kualitas internal
kemanusiaan dalam dunia pendidikan dengan teror pendidikan, pertanyaan tersebut
tidak bisa dijawab secara gegabah dan simplistik sebab dalam kasus ini
dibutuhkan elaborasi mendalam agar analisanya menjadi matang serta mampu
dipertanggungjawabkan secara intelek.
Menurut perspektif penulis “teror pendidikan” dimaknai
sebagai penciptaan tradisi “takut, pembunuhan atau penyelewengan karakter”
dalam proses pembelajaran, tradisi takut bisa terbentuk karena pendidik
menggunakan prinsip reward and punishment secara berlebihan kepada peserta
didik, peserta didik senang jika mampu menjawab pertanyaan dengan benar akan
tetapi di ujung lain mereka juga dihantui ketakutan akan sanksi jika mulut
mereka tergelincir lalu memberikan jawaban yang dianggap salah, sanksi ini
tidak harus dalam bentuk fisik namun bisa berupa sanksi sosial semisal
pengucilan atau pelabelan bodoh yang dilekatkan kepadanya, lebih ekstrim lagi
apabila pendidik memberikan perlakuan yang berbeda terhadap siswa yang dianggap
bodoh dengan siswa yang dianggap pintar. Peserta didik kemudian takut
mengungkapkan ide – idenya karena takut akan sanksi yang diberikan jika
ternyata jawabannya dianggap salah, mungkin saja para siswa memiliki jawaban
terhadap permasalahan tertentu dalam materi ajar tetapi sayang karena semua
permasalahan telah dipatenkan standar jawabannya didalam buku kunci jawaban dan
semua jawaban peserta didik harus mengacu kepada standar jawaban tersebut.
Karena merasa jawabannya tidak sesuai dengan standar kebenaran yang tertera
dalam buku maka ia lebih memilih bungkam karena takut. Mari kita berkhayal
sejenak, jika perlakuan semacam ini berlangsung selama satu tahun maka itu
berarti siswa telah dijejali rasa ketakutan selama 365 hari, bukankah rentang
waktu ini termasuk cukup untuk menanamkan sebuah kesadaran baru, hanya saja
patutu disayangkan karena kesadaran itu
bernama “kesadaran takut”, takut mengungkapkan ide – ide, takut akan sanksi,
takut mengkritik pendidik karena pendidik memposisikan diri sebagai hakim yang
memvonis benar salah bukan sebagai pendidik yang memandu peserta didik ke arah
nilai – nilai kemanusiaan. Tradisi ini yang kemudian berkembang dalam dunia
sekolah menjadi ajang teror psikologi bagi para siswa. Menurut hemat penulis,
penciptaan tradisi takut dalam dunia pendidikan dipicu oleh jenis ketakutan
yang lain yakni ketakutan akan munculnya sindrom ketidaksopanan, ketakutan akan
terbongkarnya nilai – nilai lama yang sudah dipatenkan menjadi sebuah
kebenaran. Kedua jenis ketakutan ini saling bertalian erat antara satu sama
lain, ketakutan pertama (takut akan ketidaksopanan) selalu menjadi tameng bagi
jenis ketakutan kedua (takut akan terbongkarnya nilai – nilai lama yang sudah
dipatenkan sebagai sebuah kebenaran). Terkait ketakutan jenis pertama, kita
tetap menghargai tentang pentingnya penanaman nilai etika dalam dunia
pendidikan karena kecerdasan utuh tidak bisa diukur dari sudut intelektual
belaka namun penanaman sikap dan prilaku shaleh mesti menjadi aspek lain yang
perlu dipertimbangkan sebab telah banyak fakta yang membuktikan jika individu yang
mapan secara intelektual namun miskin etika justru sering berkontribusi penting
terhadap kerusakan massif di negeri ini, akan tetapi disisi lain kita juga
perlu ingat bahwa penanaman nilai etika mesti berkorelasi dengan pemberian
ruang bagi peserta didik dalam mengungkapkan pikiran – pikiran kreatifnya.
Jangan sampai etika menjadi alasan ampuh bagi guru dalam menghambat kreatifitas
berpikir siswa, olehnya itu dalam konteks ini pendidik sewajarnya mampu
memahami etika secara flexibel. Pendidik seharusnya bisa memberikan kesempatan
bagi semua peserta didik untuk mengekspresikan ide – idenya sekalipun ide
tersebut bertentangan dengan apa yang selama ini dianggap tepat, sebab jika
setiap peserta didik telah mengalami pengekangan kreatifitas sejak dini maka imbasnya
dapat kita lihat dalam jangka waktu yang panjang dan dalam skala makro,
berimbas jangka panjang karena pembiasaan tersebut akan mengendap di alam nawah
sadar peserta didik sehingga “takut” bisa menjadi karakter imanen bagi diri
mereka, boleh jadi jika mereka beruntung maka dimasa depan, peserta didik yang
hari ini selalu dipaksa untuk menerima rasa takut akan memasuki gelanggang
pemerintahan yang telah terlebih dahulu dikotori oleh elit – elit politik
sebelum mereka, akan tetapi mereka hanya
bisa menumpuk kotoran di tempat yang sudah kotor itu. Hanya manusia berani yang mampu membersihkan
kotoran tersebut, bukan sebaliknya yaitu manusia yang mengidap sindrom
ketakutan, takut untuk melakukan inovasi baru karena khawatir akan banyak
rintangan yang dihadapi, takut menindak anggota – anggotanya yang seenaknya
melenggang kangkung kesana – kemari merusak tatanan pemerintahan, alih –alih
menindak anggotanya yang berbuat salah, pemimpin seperti ini justru sibuk
melindungi mereka yang bersalah karena sangat mungkin ia juga merupakan salah
satu pemainnya, terlebih jika dikaitkan dengan sepak terjangnya dalam menentang
intervensi asing maka sudah dapat dipastikan bahwa pemimpin semacam ini hanya
akan mengumbar rasa takut dihadapan negara adidaya dan perusahaan
multinasionalnya, ia hanya akan memperlihatkan senyum lebar – lebar layaknya
pembantu yang siap melayani majikannya walaupun ia dan orang lain akan menjadi
tumbal bagi mereka. Kita tidak perlu heran jika hal itu terjadi karena dunia
pendidikan kita yang merupakan basis untuk memproduk calon pemimpin masa depan
telah melanggengkan tradisi teror sehingga melahirkan manusia – manusia kaya
akan karakter takut. Tidak banyak peserta didik yang bisa keluar dari
mainstream tersebut kecuali bagi mereka yang mendapatkan penyadaran diluar
struktur pendidikan formal. Penumbuhan tradisi takut sebagai konsekuensi logis
dari teror pendidikan terkesan paradoks, paradoks karena disatu sisi pendidik
berperan dalam penumbuhan karakter takut namun disisi lain ia juga sering mendengungkan
kisah – kisah heroik para pahlawan atau orang – orang besar dalam dunia fiksi
atau non fiksi yang mesti ditiru oleh peserta didik. Idealnya peserta didik
selalu diberi ruang untuk mempertanyakan segala sesuatunya tanpa perlu takut
bahwa ia akan melanggar etika normatif atau melawan tradisi kebenaran mapan,
layaknya seorang pahlawan yang selalu mempertanyakan situasi masyarakatnya dan
berani mengambil sikap perlawanan terhadap mitos kebenaran yang dipropagandakan
oleh penjajah. Jika hal itu terjadi maka sesungguhnya peserta didik telah
berhasil menginternalisasikan substansi spirit keberanian sekaligus menjadi
salah satu pertanda keberhasilan pendidik dalam dunia pendidikan namun jika
sebaliknya maka sebenarnya pendidik telah mengingkari perbuatannya sendiri.
Teror pendidikan tidak hanya berkontribusi menumbuhkan
mental takut akan tetapi ia juga berpotensi menumbuhkan karakter negatif lain
semisal budaya bohong, kasus ini sama paradoksnya denagn masalah pelanggengan
tradisi takut tadi, bagaimana tidak, hampir setiap hari bahkan setiap jam
pikiran peserta didik selalu disirami dengan kemuliaan perbuatan jujur, bahkan
dalam konteks tertentu peserta didik terkadang mendapat sedikit sentuhan
represif apabila ia tidak mau berkata dan berbuat jujur, akan tetapi sebuah
ironi karena ditepian lain peserta didik juga diajari tradisi kebohongan, belum
lagi tradisi kebohongan ini dikerjakan secara berjamaah lengkap dengan
strateginya, contoh paling riil pada saat pelaksanaan UAN, namun dalam kasus
ini kita tetap perlu bersikap bijak untuk tidak menyalahkan pendidik semata
karena mereka hanyalah korban represif sistem pendidikan yang memberlakukan
sistem kelulusan dengan prinsip “asal pukul
rata” tanpa memperhatikan kelayakan elemen penunjang disetiap sekolah. Kejujuran
yang tadinya terlihat sangat ideal di mata peserta didik menjadi runtuh
seketika hanya karena diperhadapkan dengan situasi seperti itu. Bukan mustahil
ada peserta didik yang mempertanyakan ulang konsistensi nilai kejujuran yang
pernah mereka dapatkan langsung dari pendidiknya, hanya saja pertanyaan itu
akan tetap tersimpan didalam hati tanpa berani dilisankan karena takut jika ia
dianggap tidak sopan atau melanggar etika. Dari perspektif lain, kondisi
tersebut bisa saja menimbulkan persepsi baru namun lagi – lagi negatif atau
paling tidak kita bisa mengistilahkannya “persepsi kompromistis” yakni peserta
didik tetap meyakini urgensi dan kemuliaan tradisi jujur namun tradisi jujur
tersebut dimaknai bahwa ia bisa saja digadaikan dalam konteks tertentu demi
menyelamatkan kepentingan diri (daripada tidak lulus gara – gara jujur dalam
UAN maka lebih baik ikut berbohong yang penting masih bisa lulus) ketika
persepsi ini menjadi salah satu prinsip
hidup maka ketakutan kita adalah institusi pendidikan justru hanya
memproduksi calon pemimpin yang sarat dengan tindakan kompromi, pemimpin yang
terlihat teguh dihadapan rakyat namun membleng dihadapan asing, pemimpin yang
miskin karakter.
Sudah
saatnya dunia pendidikan beserta seluruh elemen didalamnya melakukan introspeksi
akbar, masih banyak hal yang perlu dibenahi. Teror pendidikan bisa lahir karena
dua musabab, musabab pertama berasal dari elemen pendidik yang keliru dalam
menempatkan diri sebagai pendidik sedangkan musabab kedua lahir dari butir
kebijakan sistem pendidikan yang berpotensi menimbulkan prilaku negatif karena
digodok dengan mengabaikan aspek sosio kultural. Untuk musabab pertama maka
penting kiranya bagi pendidik untuk lebih
membuka diri terhadap munculnya potensi kebenaran baru dari kalangan peserta
didik bukan dengan menjadikan alasan moralitas sebagai penghambat nagi
munculnya gagasan segar dari peserta didik, sebab peserta didik yang mengkritik
pandangan pendidik bukanlah insan yang kurang bermoral justru sebaliknya mereka
adalah orang – orang yang sangat menjunjung moralitas, kenapa? Karena paling
tidak mereka masih memiliki kepedulian untuk mempertanyakan pandangan yang
mereka anggap keliru walaupun bisa saja asumsi kekeliruan itu belum tentu benar
adanya namun itu menjadi tanggungjawqab pendidik untuk menjelaskan dengan baik
gagasan – gagasannya. Tetapi sekali lagi kita perlu ingat bahwa kondisi itu
bisa terjadi jika seseorang pendidik benar – benar memposisikan diri sebagai
pendidik yakni memandang setara antara dirinya dan peserta didik, dikatakan
setara karena pada hakikatnya baik pendidik maupun peserta didik sama – sama
belajar dalam konteks pendidikan, namun jika tidak maka monopoli kebenaran
pasti akan menumpuk pada pihak yang menempatkan dirinya lebih paham dari yang
lain. Adapun musabab kedua mengindikasikan dibutuhkannya kebijakan berbasisi
sosio kultural, kebijakan sosio kultural perlu didorong supaya kebijakan
tersebut benar – benar tepat sasaran agar tidak terjadi pemarginalan secara
tidak langsung kepada institusi pendidikan tertentu, sebab secara sadar
tentunya semua institusi pendidikan akan berusaha menghindarkan diri dari label
“marginal” termasuk jika harus mengorbankan prinsip “kejujuran”, jika hal ini
diabaikan maka itu berarti sama saja dengan memasang teror di wajah pendidikan
kita yang berimplikasi pada pemiskinan karakter . kita tentu senang mendengar
bahwa terbuka ruang bagi penghapusan standar UAN secara nasional tetapi perlu
diingat bahwa telah banyak peserta didik yang menjadi korbannya. Begitupun
dengan keputusan memasukkan pendidikan karakter kedalam sistem pendidikan,
semua itu tetap diapresiasi tanpa menghilangkan komitmen untuk menyingkirkan
segala unsur teror dalam dunia pendidikan.
Oleh : Zaenal Abidin Riam
(Ketua Umum HMI MPO Cab. Makassar 1432-1433 H)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !