TEROR PENDIDIKAN - Berita Kampus I Informasi online Mahasiswa
Headlines News :

Info Beasiswa

Info Beasiswa Lainnya... »

Label 1

Komunitas

INFO LOMBA

Info Lomba Lainnya... »
Home » » TEROR PENDIDIKAN

TEROR PENDIDIKAN

Written By Wacana Kampus on 26 Maret 2012 | 20.07.00

Istilah teror pendidikan pasti terkesan tabu di telinga masyarakat, sebab kerangka pikir yang tertanam di kepala mereka selalu mengasosiasikan pendidikan dengan hal positif, aura kebaikan seakan senantiasa mengiringi kata tersebut,  bukankah dalam terma mapan pendidikan didefenisikan sebagai  sebuah proses sistematis dalam rangka mencerdaskan manusis, kata “cerdas” pasti dipahami sebagai sesuatau yang bersifat positif. Dari perspektif logika formal pendidikan yang hari ini dianut sebagai sebuah defenisi paten dalam dunia pendidikan maka penjelasan tentang terma pendidikan seakan tidak mendapati masalah sedikitpun, justru keganjilan  terma pendidikan akan muncul  jika kosakata pendidikan dipersandingkan dengan kata teror, bukan saja akan sulit diterima bahkan terbuka kemungkinan ia akan ditolak mentah – mentah, mungkin juga akan muncul spekulasi bahwa statement semacam ini tak lebih dari salah satu upaya mencari popularitas, atau ada juga yang tidak tertarik memperbincangkannya karena dianggap akan mendatangkan implikasi negatif belaka bagi jagad pendidikan, namun sejahat itukah asumsi  yang mendasari munculnya ide kreatif tentang penggunaan istilah teror pendidikan, layakkah kita mencari popularitas ditengah kondisi pendidikan yang memilukan atau yang paling bijak adalah bersama – sama mencari solusi agar menemukan celah untuk keluar dari kebuntuan pendidikan formal. 

           Serangkaian asumsi yang bisa muncul terkait penggunaan terma “teror pendidikan”  hendaknya dimafhumi bahwa pendidikan masih sering ditilik dalam nuansa simplistis sehingga selalu saja terjadi proses reduksi dalam memahami  makna substansi pendidikan. Disisi lain istilah tersebut akan  sukar diterima mengingat  dua kata yang pada dasarnya kontradiksi namun dipersandingkan dalam satu rangkaian istilah yakni “teror pendidikan”, kata teror dalam sepanjang sejarah pembentukan katanya hingga melahirkan pemaknaan selalu mempertegas diri bahwa ia merupakan salah satu derivasi makna umum tentang keburukan, sementara kata pendidikan dalam rentang historisnya selalu berdiri di tanah kebaikan. Mungkinkah yang baik dan buruk akan bertemu dalam satu rangkaian istilah tanpa melahirkan keterpecahan makna sebab kedua kata tersebut masing- masing berdiri diatas dua makna yang sangat berjarak, bila penjelasan terhenti  sampai disini saja maka itu sama saja dengan meninggalkan pembaca didalam lautan kebingungan tanpa petunjuk arah sehingga mereka tidak pernah mampu mencapai daratan pemahaman. Memang dibutuhkan sistem penjelas lanjutan supaya judul tulisan diatas mampu terpahamkan kepada pembaca  agar para pembaca tidak terseret kedalam sudut gelap mispersepsi, akan tetapi sebelum sampai kesana maka paling tidak penulis berusaha memberikan sentilan – sentilan pertanyaan guna memeriksa kembali kemapanan pemahaman kita walaupun pada dasrnya semua pertanyan tersebut akan terjawab denagan sendirinya dalam untaian kata – kata yang akan tampil pada paragraf selanjutnya. Sebagaimana lazimnya, untuk menguraikan sebuah istilah tabu maka perlu diberikan prolog yang dianggap memancing rasa ingin tahu pembaca sekaligus berusaha menyentak kesadaran mereka akan hal – hal yang selama ini dianggap biasa – biasa saja dan dan tidak perlu diutak – atik lagi.

         Dalam perspektif masyarakat awam, budaya yang tumbuh dalam dunia pendidikan dianggap sudah tepat sehingga peserta didik hanya diharuskan untuk mengikuti mekanisme budaya yang sudah ada tanpa perduli apakah ia suka atau benci, benarkah budaya yang hidup dalam dunia pendidikan sudah se elegan itu? Untuk menjawab pertanyan ini maka kita perlu merenungi kembali tujuan hakiki pendidikan yakni  “memanusiakan manusia”, bila diperhatikan dengan cermat maka minimal bisa dibuat dua poin penafsiran, yaitu bahwa usaha “memanusiakan manusia” harus dipandang dari sisi eksternal dan internal kemanusiaan, dari sisi eksternal  maka tingkat kecerdasan intelektual menjadi salah satu tolok ukurnya, sementara dari segi internal kemanusiaan maka karakter/mental dan spiritualitas mesti menjadi cermin dalam menentukan tingkat keberhasilan pembentukan kualitas manusia. Tujuan mulia pendidikan itu sekaligus memafhumkan kepad kita bahwa ia tidak bisa dicapai dalam waktu sangat singkat lewat mekanisme sim sala bim akan tetapi ia membutuhkan serangkaian proses panjang serta menuntut kita untuk tidak jenuh dalam mewujudkannya. Penting untuk dicatat bahwa selama ini usaha menciptakan manusia utuh lebih diarahkan pada penciptaan kualitas eksternal sehingga ukuran kecerdasan intelektual selalu menjadi barometer tunggal, ironisnya karena aspek pembentukan internal kemanusiaan seakan dianggap tidak urgen, maka terciptalah pribadi – pribadi yang berotak kuat namun miskin karakter dan gersang spiritualitas. Tentunya kita tidak bisa berharap banyak dari jenis manusia semacam ini, terlebih lagi dalam suasana dimana masyarakat merindukan pemimpin yang memiliki karakter. Lantas adakah benang merah antara pembentukan kualitas internal kemanusiaan dalam dunia pendidikan dengan teror pendidikan, pertanyaan tersebut tidak bisa dijawab secara gegabah dan simplistik sebab dalam kasus ini dibutuhkan elaborasi mendalam agar analisanya menjadi matang serta mampu dipertanggungjawabkan secara intelek.
            Menurut perspektif penulis “teror pendidikan” dimaknai sebagai penciptaan tradisi “takut, pembunuhan atau penyelewengan karakter” dalam proses pembelajaran, tradisi takut bisa terbentuk karena pendidik menggunakan prinsip reward and punishment secara berlebihan kepada peserta didik, peserta didik senang jika mampu menjawab pertanyaan dengan benar akan tetapi di ujung lain mereka juga dihantui ketakutan akan sanksi jika mulut mereka tergelincir lalu memberikan jawaban yang dianggap salah, sanksi ini tidak harus dalam bentuk fisik namun bisa berupa sanksi sosial semisal pengucilan atau pelabelan bodoh yang dilekatkan kepadanya, lebih ekstrim lagi apabila pendidik memberikan perlakuan yang berbeda terhadap siswa yang dianggap bodoh dengan siswa yang dianggap pintar. Peserta didik kemudian takut mengungkapkan ide – idenya karena takut akan sanksi yang diberikan jika ternyata jawabannya dianggap salah, mungkin saja para siswa memiliki jawaban terhadap permasalahan tertentu dalam materi ajar tetapi sayang karena semua permasalahan telah dipatenkan standar jawabannya didalam buku kunci jawaban dan semua jawaban peserta didik harus mengacu kepada standar jawaban tersebut. Karena merasa jawabannya tidak sesuai dengan standar kebenaran yang tertera dalam buku maka ia lebih memilih bungkam karena takut. Mari kita berkhayal sejenak, jika perlakuan semacam ini berlangsung selama satu tahun maka itu berarti siswa telah dijejali rasa ketakutan selama 365 hari, bukankah rentang waktu ini termasuk cukup untuk menanamkan sebuah kesadaran baru, hanya saja patutu disayangkan karena kesadaran itu bernama “kesadaran takut”, takut mengungkapkan ide – ide, takut akan sanksi, takut mengkritik pendidik karena pendidik memposisikan diri sebagai hakim yang memvonis benar salah bukan sebagai pendidik yang memandu peserta didik ke arah nilai – nilai kemanusiaan. Tradisi ini yang kemudian berkembang dalam dunia sekolah menjadi ajang teror psikologi bagi para siswa. Menurut hemat penulis, penciptaan tradisi takut dalam dunia pendidikan dipicu oleh jenis ketakutan yang lain yakni ketakutan akan munculnya sindrom ketidaksopanan, ketakutan akan terbongkarnya nilai – nilai lama yang sudah dipatenkan menjadi sebuah kebenaran. Kedua jenis ketakutan ini saling bertalian erat antara satu sama lain, ketakutan pertama (takut akan ketidaksopanan) selalu menjadi tameng bagi jenis ketakutan kedua (takut akan terbongkarnya nilai – nilai lama yang sudah dipatenkan sebagai sebuah kebenaran). Terkait ketakutan jenis pertama, kita tetap menghargai tentang pentingnya penanaman nilai etika dalam dunia pendidikan karena kecerdasan utuh tidak bisa diukur dari sudut intelektual belaka namun penanaman sikap dan prilaku shaleh mesti menjadi aspek lain yang perlu dipertimbangkan sebab telah banyak fakta yang membuktikan jika individu yang mapan secara intelektual namun miskin etika justru sering berkontribusi penting terhadap kerusakan massif di negeri ini, akan tetapi disisi lain kita juga perlu ingat bahwa penanaman nilai etika mesti berkorelasi dengan pemberian ruang bagi peserta didik dalam mengungkapkan pikiran – pikiran kreatifnya. Jangan sampai etika menjadi alasan ampuh bagi guru dalam menghambat kreatifitas berpikir siswa, olehnya itu dalam konteks ini pendidik sewajarnya mampu memahami etika secara flexibel. Pendidik seharusnya bisa memberikan kesempatan bagi semua peserta didik untuk mengekspresikan ide – idenya sekalipun ide tersebut bertentangan dengan apa yang selama ini dianggap tepat, sebab jika setiap peserta didik telah mengalami pengekangan kreatifitas sejak dini maka imbasnya dapat kita lihat dalam jangka waktu yang panjang dan dalam skala makro, berimbas jangka panjang karena pembiasaan tersebut akan mengendap di alam nawah sadar peserta didik sehingga “takut” bisa menjadi karakter imanen bagi diri mereka, boleh jadi jika mereka beruntung maka dimasa depan, peserta didik yang hari ini selalu dipaksa untuk menerima rasa takut akan memasuki gelanggang pemerintahan yang telah terlebih dahulu dikotori oleh elit – elit politik sebelum mereka, akan tetapi mereka hanya  bisa menumpuk kotoran di tempat yang sudah kotor itu. Hanya  manusia berani yang mampu membersihkan kotoran tersebut, bukan sebaliknya yaitu manusia yang mengidap sindrom ketakutan, takut untuk melakukan inovasi baru karena khawatir akan banyak rintangan yang dihadapi, takut menindak anggota – anggotanya yang seenaknya melenggang kangkung kesana – kemari merusak tatanan pemerintahan, alih –alih menindak anggotanya yang berbuat salah, pemimpin seperti ini justru sibuk melindungi mereka yang bersalah karena sangat mungkin ia juga merupakan salah satu pemainnya, terlebih jika dikaitkan dengan sepak terjangnya dalam menentang intervensi asing maka sudah dapat dipastikan bahwa pemimpin semacam ini hanya akan mengumbar rasa takut dihadapan negara adidaya dan perusahaan multinasionalnya, ia hanya akan memperlihatkan senyum lebar – lebar layaknya pembantu yang siap melayani majikannya walaupun ia dan orang lain akan menjadi tumbal bagi mereka. Kita tidak perlu heran jika hal itu terjadi karena dunia pendidikan kita yang merupakan basis untuk memproduk calon pemimpin masa depan telah melanggengkan tradisi teror sehingga melahirkan manusia – manusia kaya akan karakter takut. Tidak banyak peserta didik yang bisa keluar dari mainstream tersebut kecuali bagi mereka yang mendapatkan penyadaran diluar struktur pendidikan formal. Penumbuhan tradisi takut sebagai konsekuensi logis dari teror pendidikan terkesan paradoks, paradoks karena disatu sisi pendidik berperan dalam penumbuhan karakter takut namun disisi lain ia juga sering mendengungkan kisah – kisah heroik para pahlawan atau orang – orang besar dalam dunia fiksi atau non fiksi yang mesti ditiru oleh peserta didik. Idealnya peserta didik selalu diberi ruang untuk mempertanyakan segala sesuatunya tanpa perlu takut bahwa ia akan melanggar etika normatif atau melawan tradisi kebenaran mapan, layaknya seorang pahlawan yang selalu mempertanyakan situasi masyarakatnya dan berani mengambil sikap perlawanan terhadap mitos kebenaran yang dipropagandakan oleh penjajah. Jika hal itu terjadi maka sesungguhnya peserta didik telah berhasil menginternalisasikan substansi spirit keberanian sekaligus menjadi salah satu pertanda keberhasilan pendidik dalam dunia pendidikan namun jika sebaliknya maka sebenarnya pendidik telah mengingkari perbuatannya sendiri.

            Teror pendidikan tidak hanya berkontribusi menumbuhkan mental takut akan tetapi ia juga berpotensi menumbuhkan karakter negatif lain semisal budaya bohong, kasus ini sama paradoksnya denagn masalah pelanggengan tradisi takut tadi, bagaimana tidak, hampir setiap hari bahkan setiap jam pikiran peserta didik selalu disirami dengan kemuliaan perbuatan jujur, bahkan dalam konteks tertentu peserta didik terkadang mendapat sedikit sentuhan represif apabila ia tidak mau berkata dan berbuat jujur, akan tetapi sebuah ironi karena ditepian lain peserta didik juga diajari tradisi kebohongan, belum lagi tradisi kebohongan ini dikerjakan secara berjamaah lengkap dengan strateginya, contoh paling riil pada saat pelaksanaan UAN, namun dalam kasus ini kita tetap perlu bersikap bijak untuk tidak menyalahkan pendidik semata karena mereka hanyalah korban represif sistem pendidikan yang memberlakukan sistem kelulusan dengan prinsip “asal pukul  rata” tanpa memperhatikan kelayakan elemen penunjang disetiap sekolah. Kejujuran yang tadinya terlihat sangat ideal di mata peserta didik menjadi runtuh seketika hanya karena diperhadapkan dengan situasi seperti itu. Bukan mustahil ada peserta didik yang mempertanyakan ulang konsistensi nilai kejujuran yang pernah mereka dapatkan langsung dari pendidiknya, hanya saja pertanyaan itu akan tetap tersimpan didalam hati tanpa berani dilisankan karena takut jika ia dianggap tidak sopan atau melanggar etika. Dari perspektif lain, kondisi tersebut bisa saja menimbulkan persepsi baru namun lagi – lagi negatif atau paling tidak kita bisa mengistilahkannya “persepsi kompromistis” yakni peserta didik tetap meyakini urgensi dan kemuliaan tradisi jujur namun tradisi jujur tersebut dimaknai bahwa ia bisa saja digadaikan dalam konteks tertentu demi menyelamatkan kepentingan diri (daripada tidak lulus gara – gara jujur dalam UAN maka lebih baik ikut berbohong yang penting masih bisa lulus) ketika persepsi ini menjadi salah satu prinsip  hidup maka ketakutan kita adalah institusi pendidikan justru hanya memproduksi calon pemimpin yang sarat dengan tindakan kompromi, pemimpin yang terlihat teguh dihadapan rakyat namun membleng dihadapan asing, pemimpin yang miskin karakter.

Sudah saatnya dunia pendidikan beserta seluruh elemen didalamnya melakukan introspeksi akbar, masih banyak hal yang perlu dibenahi. Teror pendidikan bisa lahir karena dua musabab, musabab pertama berasal dari elemen pendidik yang keliru dalam menempatkan diri sebagai pendidik sedangkan musabab kedua lahir dari butir kebijakan sistem pendidikan yang berpotensi menimbulkan prilaku negatif karena digodok dengan mengabaikan aspek sosio kultural. Untuk musabab pertama maka penting kiranya bagi pendidik untuk lebih  membuka diri terhadap munculnya potensi kebenaran baru dari kalangan peserta didik bukan dengan menjadikan alasan moralitas sebagai penghambat nagi munculnya gagasan segar dari peserta didik, sebab peserta didik yang mengkritik pandangan pendidik bukanlah insan yang kurang bermoral justru sebaliknya mereka adalah orang – orang yang sangat menjunjung moralitas, kenapa? Karena paling tidak mereka masih memiliki kepedulian untuk mempertanyakan pandangan yang mereka anggap keliru walaupun bisa saja asumsi kekeliruan itu belum tentu benar adanya namun itu menjadi tanggungjawqab pendidik untuk menjelaskan dengan baik gagasan – gagasannya. Tetapi sekali lagi kita perlu ingat bahwa kondisi itu bisa terjadi jika seseorang pendidik benar – benar memposisikan diri sebagai pendidik yakni memandang setara antara dirinya dan peserta didik, dikatakan setara karena pada hakikatnya baik pendidik maupun peserta didik sama – sama belajar dalam konteks pendidikan, namun jika tidak maka monopoli kebenaran pasti akan menumpuk pada pihak yang menempatkan dirinya lebih paham dari yang lain. Adapun musabab kedua mengindikasikan dibutuhkannya kebijakan berbasisi sosio kultural, kebijakan sosio kultural perlu didorong supaya kebijakan tersebut benar – benar tepat sasaran agar tidak terjadi pemarginalan secara tidak langsung kepada institusi pendidikan tertentu, sebab secara sadar tentunya semua institusi pendidikan akan berusaha menghindarkan diri dari label “marginal” termasuk jika harus mengorbankan prinsip “kejujuran”, jika hal ini diabaikan maka itu berarti sama saja dengan memasang teror di wajah pendidikan kita yang berimplikasi pada pemiskinan karakter . kita tentu senang mendengar bahwa terbuka ruang bagi penghapusan standar UAN secara nasional tetapi perlu diingat bahwa telah banyak peserta didik yang menjadi korbannya. Begitupun dengan keputusan memasukkan pendidikan karakter kedalam sistem pendidikan, semua itu tetap diapresiasi tanpa menghilangkan komitmen untuk menyingkirkan segala unsur teror dalam dunia pendidikan.            
  
Oleh : Zaenal Abidin Riam 
(Ketua Umum HMI MPO Cab. Makassar 1432-1433 H)                              
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Nasional

More on this category »
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Berita Kampus I Informasi online Mahasiswa - All Rights Reserved
Original Design by Creating Website Modified by Adiknya