JAKARTA, wacanakampus.com -- Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat kerugian yang dilakukan Pemrov Sulsel
akibat ketidakpatuhan terhadap undang-undang mencapai Rp55,520 miliar
dengan jumlah 153 kasus.
DALAM laporan yang diserahkan Ketua BPK, Hadi Peoernomo, kepada DPR RI, Selasa 3 April, dirinci bahwa nilai kerugian daerah akibat ketidakpatuhan mencapai Rp11,629 miliar dengan 39 kasus. Sedangkan potensi kerugian daerah 10 kasus dengan nilai Rp20,938 miliar, administrasi ada 54 kasus, ketidakhematan 10 kasus dengan nilai Rp3,283 miliar.
Dan ketidakefektifan akibat ketidakpatuhan tersebut mencapai tujuh kasus dengan nilai Rp11,896 miliar. BPK juga mencatat, penyerahan aset atau penyetoran ke kas negara atau daerah atas temuan yang ditindaklanjuti dalam proses pemeriksaan. BPK mencatat adanya kerugian negara Rp2,910 miliar, dan potensi kerugian Rp1,809 miliar. Dari temuan yang ditindaklanjuti tersebut, masih ada kekurangan penerimaan sebesar Rp618,90 juta.
Sementara itu, dari 11 kabupaten/kota di Sulsel yang sudah diperiksa laporan keuangannya oleh BPK, kerugian daerah paling tinggi terjadi di Takalar dengan kerugian 13,801 miliar. Menyusul Selayar Rp10,935 miliar, Makassar Rp8,604 miliar, Sinjai Rp8,206 miliar, Jeneponto Rp5,314 milir, Barru Rp2,332 miliar, Luwu Rp1,925 miliar, Soppeng Rp1,275 miliar, Parepare Rp1,246 miliar, Bantaeng Rp1,175 miliar, dan Luwu Utara Rp701 juta.
Dari jumlah kasus yang terbanyak adalah Selayar dengan 22 kasus, Makassar 19 kasus, Bantaeng 17 kasus, Luwu dan Jeneponto masing-masing 16 kasus, Takalar 15 kasus, Luwu Utara dan Sinjai masing-masing 12 kasus, Parepare enam kasus, dan Soppeng lima kasus.
Sebagian besar laporan keuangan daerah tersebut wajar dengan pengecualian (WDP). Yang meraih opini WDP adalah Bantaeng, Jeneponto, Luwu, Sinjai, Soppeng, Kota Makassar, dan Parepare. Sementara tiga daerah dinyatakan disclaimer atau tidak memberikan pendapat, yakni, Barru, Selayar, dan Takalar. Hanya satu daerah yang meraih opini wajar tanpa pengecualian, yakni Luwu Utara.
Temuan di Bank Sulsel
Hasil teemuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada laporan keuangan Bank Sulselbar, menemukan adanya kerugian sebesar Rp59,536 miliar. Hal itu termuat dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II yang disampaikan Ketua BPK, Hadi Poernomo ke DPR RI.
Dalam IHPS II tersebut, tercantum total kerugian Bank Sulselbar itu terakumulasi dari 25 kasus akibat ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. BPK merinci, kerugian tersebut terdiri atas kerugian daerah di dalam perusahaan sekitar Rp4,056 miliar dengan lima kasus, juga potensi kerugian daerah Rp912,84 juta pada tiga kasus.
Selain itu, juga ada kekurangan penerimaan Rp8,116 miliar pada lima kasus, dan ketidakefektifan Rp46,450 miliar pada enam kasus. Selain itu, juga ada temuan BPK pada sistem pengendalian internal dengan total 24 kasus. Terdiri atas, kelemahan Sistem Pengendalian Akuntansi dan Pelaporan satu kasus, kelemahan Sistem Pengendalian Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja 11 kasus, dan kelemahan Struktur Pengendalian Internal 12 kasus.
Ketua BPK, Hadi Poernomo menjelaskan, secara keseluruhan, total kelemahan Sistem Pengendalian Akuntansi dan Pelaporan dilihat dari, pencatatan tidak dilakukan atau tidak akurat, proses penyusunan laporan tidak sesuai ketentuan yang diatur, juga sistem Informasi Akuntansi dan Pelaporan yang tidak memadai.
Sementara itu, Kelemahan Sistem Pengendalian Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja, sebut Hadi, indikasinya dilihat dari perencanaan kegiatan tidak memadai, mekanisme pemungutan, penyetoran dan pelaporan, serta penggunaan Penerimaan Negara/Daerah/Perusahaan dan Hibah tidak sesuai ketentuan, juga penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan bidang teknis tertentu, atau ketentuan intern organisasi yang diperiksa tentang pendapatan dan belanja, dan penetapan pelaksanaan kebijakan tidak tepat, atau belum dilakukan berakibat hilangnya potensi penerimaan pendapatan. "Juga penetapan pelaksanaan kebijakan tidak tepat, atau belum dilakukan, berakibat peningkatan biaya belanja," ujar Hadi.
Kelemahan Struktur Pengendalian Internal, lanjut Hadi, dilihat dari entitas tidak memiliki standar operasional prosedur (SOP) yang formal untuk suatu prosedur, atau keseluruhan prosedur, SOP yang ada pada entitas, tidak berjalan secara optimal atau tidak ditaati, dan tidak ada pemisahan tugas dan fungsi yang memadai.
Terpisah, Direktur Bank Sulselbar, Ellong Tjandra, mengaku jika
temuan BPK tersebut telah dijawab. Persoalan yang ditemukan BPK hanya
kesalahan administrasi. Ellong menjelaskan, ada tiga lembaga yang
mendapatkan penilaian BPK, yakni selain Bank Sulselbar, DPRD dan Pemprov
Sulsel termasuk di dalamnya.
"Kita sudah jawab. Itu sudah lama selesai. Pada umumnya hanya terjadi kesalahan administrasi," elak Ellong. Hanya saja ia tak merinci lebih jauh karena mengaku sedang berada di Palembang dan kemungkinan pekan depan baru balik ke Makassar.
Sementara itu, Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) Sulsel, Yusdar Huduri, yang ingin dikonfirmasi mengenai hal masalah ini, tak berhasil. Saat dihubungi, telepon selulernya dalam kondisi aktif namun tak menjawab panggilan FAJAR. Demikian halnya pesan pendek atau short message service (SMS) yang dikirim, tak mendapat balasan hingga berita ini dibuat.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !