SAAT ini berbagai perguruan tinggi di Indonesia sedang
gencar-gencarnya menjaring calon mahasiswa baru. Brosur-brosur pun sudah
mulai beredar luas. Antara perguruan tinggi satu dengan lainnya saling
bersaing untuk untuk mendapatkan mahasiswa baru. Begitu pun dengan calon
mahasiswa, mereka berlomba-lomba agar diterima di perguruan tinggi yang
diinginkan. Berhasil diterima di perguruan tinggi favorit adalah suatu
hal yang sangat didamba-dambakan calon mahasiswa.
Namun, seiring berkembangnya pendidikan di Indonesia, ada fenomena aneh ketika kita melihat sistem penerimaan mahasiswa baru perguruan tinggi negeri (PTN) ataupun perguruan tinggi swasta (PTS) saat ini, yaitu adanya uang sumbangan atau uang pangkal yang harus dibayar oleh mahasiswa baru yang jumlahnya setiap tahun meningkat. Besarnya uang sumbangan - atau apa pun istilahnya - yang ditetapkan sebagai salah satu syarat bagi para calon mahasiswa merupakan suatu permasalahan yang serius bagi pendidikan kita.
Memang benar, sistem ini memberikan keuntungan finansial besar bagi perguruan tinggi. Namun, dengan sistem ini apakah semua lulusan SMA dapat mengenyam pendidikan di perguruan tinggi? Atau pertanyaannya begini, pihak mana sajakah yang kesempatannya untuk masuk perguruan tinggi semakin besar, akibat pemberlakuan mekanisme ini? Itulah sejumlah pertanyaan yang membuat penulis ingin mengungkapnya.
Penjaringan mahasiswa baru bagi perguruan tinggi kini dijadikan “ladang” untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Bagaimana tidak, saat ini sumbangan awal masuk untuk perguruan tinggi yang dibebankan kepada mahasiswa baru kian melangit. Bahkan, di beberapa perguruan tinggi, sumbangan masuk atau yang biasa disebut sumbangan peningkatan mutu akademik (SPMA) menjadi kriteria calon mahasiswa untuk diterima suatu perguruan tinggi. Ironisnya, meski tidak mempunyai kemampuan yang memadai, tetapi jika seorang calon mahasiswa berani membayar uang pangkal dengan harga yang lebih tinggi, maka dia layak untuk diterima.
Banyak orangtua yang kaget ketika anaknya sudah diterima di perguruan tinggi, tetapi harus membayar sangat mahal. Biaya yang dikenakan bagi calon mahasiswa berbeda antara fakultas atau jurusan satu dengan lainnya. Bahkan, biaya untuk jurusan favorit sangat mencekik. Sebut saja Fakultas Kedokteran, uang pangkal tiap mahasiswa baru dipatok hingga mencapai angka Rp100 juta, sehingga terkesan pendidikan telah dikomersialisasi (dijadikan barang dagangan).
Bagi keluarga mampu, sistem yang seperti ini memang lebih mudah dan praktis. Mereka tinggal memilih perguruan tinggi mana yang diinginkan. Tidak peduli berapa pun uang pangkal yang ditawarkan perguruan tinggi untuk mereka, karena mereka mampu untuk membayarnya. Namun, bagaimana dengan posisi keluarga kurang mampu atau rakyat miskin? Besarnya uang pangkal inilah yang sering kali menjadi persoalan mereka tidak bisa kuliah. Banyak dari kalangan menengah ke bawah yang sangat menginginkan kuliah, tetapi gara-gara melangitnya uang pangkal mereka harus menanggalkan keinginannya itu.
Terkadang dari keluarga miskin ada yang nekat berhutang atau hartanya dikorbankan semua untuk membayar uang pangkal. Dengan kenekatan itu mereka bisa membayar uang pangkal, meskipun akhirnya juga tidak bisa meneruskan kuliah, karena tidak mampu membayar besarnya biaya selanjutnya.
Sistem yang seperti ini sangat mencekik kalangan menengah ke bawah. Sebab, selain mereka memikirkan uang pangkal, tentunya juga harus memikirkan biaya hidup yang akan dikeluarkan. Jika pemerintah sebagai penanggung jawab terciptanya pendidikan yang murah dan berkualitas, tidak segera mencari jalan keluarnya, maka pendidikan Indonesia akan semakin buram.
Penerimaan mahasiswa melalui penelusuran prestasi akademik di SMA adalah menandaskan kompetisi akademik. Namun, sistem rekrutmen yang dipraktikkan oleh banyak perguruan tinggi saat ini, persaingannya didominasi oleh faktor non-akademik. Padahal, kampus adalah lingkungan akademik yang yang kental dengan iklim intelektual. Lalu bagaimana jika lingkungan akademik sudah diubah menjadi peradaban non-akademik? Fenomena inilah yang membuat kita prihatin terhadap pendidikan kita. Semula yang alih-alih memancarkan jiwa empati terhadap golongan ekonomi lemah, malah lebih memfasilitasi anggota masyarakat yang termasuk dalam kategori ekonomi mampu dalam rangka memasuki perguruan tinggi.
Seperti pada kenyataan saat ini, di Jawa Tengah banyak perguruan tinggi yang mematok uang pangkal yang tidak mungkin dijangkau oleh golongan ekonomi lemah. Univesitas Diponegoro (Undip) mematok sumbangan pembangunan institusi (SPI) untuk tahun ini ada dua kategori, yaitu jalur mandiri dan jalur PSSB. Untuk SPI jalur mandiri sebesar Rp5 juta, sedangkan jalur PSSB sebesar Rp2,5 juta (um.undip.ac). Universitas Negeri Semarang (Unnes) tahun lalu juga menetapkan sumbangan pembangunan lembaga (SPL) sebesar Rp5,9 juta. Untuk tahun ini ada kemungkinan juga naik. Sementara IAIN Walisongo, hanya membebankan biaya SPP dan Non SPP sebesar Rp1.034.000. Bahkan, banyak yang mengatakan IAIN merupakan perguruan tinggi “termurah” di dunia, karena SPP-nya hanya Rp 600 ribu.
Biaya-biaya di atas memang tidak menjadi persoalan bagi keluarga ekonomi menengah atas. Namun, bagi keluarga kelas ekonomi lemah biaya itu masih menjadi persoalan. Padahal, “orang miskin dan orang kaya” mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak dari negara. Hal itu sudah termaktub jelas dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Oleh sebab itu, layanan pendidikan harus tersedia secara merata dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan.
Pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan pendidikan nasional yang layak. Oleh karena itu, harus ada sistem baru yang mengatur perguruan tinggi dalam menetapkan biaya pendidikan, khususnya untuk kalangan miskin.
Selain itu, perguruan tinggi seharusnya juga bisa mengadvokasi calon mahasiswa dari keluarga miskin. Dan yang terpenting, jangan sampai kampus-kampus berorientasi pada uang saja, sehingga melupakan unsur akdemisnya. Terlebih, dalam sistem rekruitmen kampus harus benar-benar menampakkan akademis, bukan non-akademis.
Dengan demikian usaha untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas, murah dan merata akan terwujud. Untuk itu, diperlukan kerja sama dan sinergi antarsemua pihak untuk memperbaiki pendidikan kita, sehingga bangsa ini bisa berubah ke arah yang lebih baik. Wallahu a’lam bi al-Shawab.
Mokhamad Abdul Aziz
Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI)
IAIN Walisongo Semarang
Peneliti di Monash Institute
Namun, seiring berkembangnya pendidikan di Indonesia, ada fenomena aneh ketika kita melihat sistem penerimaan mahasiswa baru perguruan tinggi negeri (PTN) ataupun perguruan tinggi swasta (PTS) saat ini, yaitu adanya uang sumbangan atau uang pangkal yang harus dibayar oleh mahasiswa baru yang jumlahnya setiap tahun meningkat. Besarnya uang sumbangan - atau apa pun istilahnya - yang ditetapkan sebagai salah satu syarat bagi para calon mahasiswa merupakan suatu permasalahan yang serius bagi pendidikan kita.
Memang benar, sistem ini memberikan keuntungan finansial besar bagi perguruan tinggi. Namun, dengan sistem ini apakah semua lulusan SMA dapat mengenyam pendidikan di perguruan tinggi? Atau pertanyaannya begini, pihak mana sajakah yang kesempatannya untuk masuk perguruan tinggi semakin besar, akibat pemberlakuan mekanisme ini? Itulah sejumlah pertanyaan yang membuat penulis ingin mengungkapnya.
Penjaringan mahasiswa baru bagi perguruan tinggi kini dijadikan “ladang” untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Bagaimana tidak, saat ini sumbangan awal masuk untuk perguruan tinggi yang dibebankan kepada mahasiswa baru kian melangit. Bahkan, di beberapa perguruan tinggi, sumbangan masuk atau yang biasa disebut sumbangan peningkatan mutu akademik (SPMA) menjadi kriteria calon mahasiswa untuk diterima suatu perguruan tinggi. Ironisnya, meski tidak mempunyai kemampuan yang memadai, tetapi jika seorang calon mahasiswa berani membayar uang pangkal dengan harga yang lebih tinggi, maka dia layak untuk diterima.
Banyak orangtua yang kaget ketika anaknya sudah diterima di perguruan tinggi, tetapi harus membayar sangat mahal. Biaya yang dikenakan bagi calon mahasiswa berbeda antara fakultas atau jurusan satu dengan lainnya. Bahkan, biaya untuk jurusan favorit sangat mencekik. Sebut saja Fakultas Kedokteran, uang pangkal tiap mahasiswa baru dipatok hingga mencapai angka Rp100 juta, sehingga terkesan pendidikan telah dikomersialisasi (dijadikan barang dagangan).
Bagi keluarga mampu, sistem yang seperti ini memang lebih mudah dan praktis. Mereka tinggal memilih perguruan tinggi mana yang diinginkan. Tidak peduli berapa pun uang pangkal yang ditawarkan perguruan tinggi untuk mereka, karena mereka mampu untuk membayarnya. Namun, bagaimana dengan posisi keluarga kurang mampu atau rakyat miskin? Besarnya uang pangkal inilah yang sering kali menjadi persoalan mereka tidak bisa kuliah. Banyak dari kalangan menengah ke bawah yang sangat menginginkan kuliah, tetapi gara-gara melangitnya uang pangkal mereka harus menanggalkan keinginannya itu.
Terkadang dari keluarga miskin ada yang nekat berhutang atau hartanya dikorbankan semua untuk membayar uang pangkal. Dengan kenekatan itu mereka bisa membayar uang pangkal, meskipun akhirnya juga tidak bisa meneruskan kuliah, karena tidak mampu membayar besarnya biaya selanjutnya.
Sistem yang seperti ini sangat mencekik kalangan menengah ke bawah. Sebab, selain mereka memikirkan uang pangkal, tentunya juga harus memikirkan biaya hidup yang akan dikeluarkan. Jika pemerintah sebagai penanggung jawab terciptanya pendidikan yang murah dan berkualitas, tidak segera mencari jalan keluarnya, maka pendidikan Indonesia akan semakin buram.
Penerimaan mahasiswa melalui penelusuran prestasi akademik di SMA adalah menandaskan kompetisi akademik. Namun, sistem rekrutmen yang dipraktikkan oleh banyak perguruan tinggi saat ini, persaingannya didominasi oleh faktor non-akademik. Padahal, kampus adalah lingkungan akademik yang yang kental dengan iklim intelektual. Lalu bagaimana jika lingkungan akademik sudah diubah menjadi peradaban non-akademik? Fenomena inilah yang membuat kita prihatin terhadap pendidikan kita. Semula yang alih-alih memancarkan jiwa empati terhadap golongan ekonomi lemah, malah lebih memfasilitasi anggota masyarakat yang termasuk dalam kategori ekonomi mampu dalam rangka memasuki perguruan tinggi.
Seperti pada kenyataan saat ini, di Jawa Tengah banyak perguruan tinggi yang mematok uang pangkal yang tidak mungkin dijangkau oleh golongan ekonomi lemah. Univesitas Diponegoro (Undip) mematok sumbangan pembangunan institusi (SPI) untuk tahun ini ada dua kategori, yaitu jalur mandiri dan jalur PSSB. Untuk SPI jalur mandiri sebesar Rp5 juta, sedangkan jalur PSSB sebesar Rp2,5 juta (um.undip.ac). Universitas Negeri Semarang (Unnes) tahun lalu juga menetapkan sumbangan pembangunan lembaga (SPL) sebesar Rp5,9 juta. Untuk tahun ini ada kemungkinan juga naik. Sementara IAIN Walisongo, hanya membebankan biaya SPP dan Non SPP sebesar Rp1.034.000. Bahkan, banyak yang mengatakan IAIN merupakan perguruan tinggi “termurah” di dunia, karena SPP-nya hanya Rp 600 ribu.
Biaya-biaya di atas memang tidak menjadi persoalan bagi keluarga ekonomi menengah atas. Namun, bagi keluarga kelas ekonomi lemah biaya itu masih menjadi persoalan. Padahal, “orang miskin dan orang kaya” mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak dari negara. Hal itu sudah termaktub jelas dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Oleh sebab itu, layanan pendidikan harus tersedia secara merata dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan.
Pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan pendidikan nasional yang layak. Oleh karena itu, harus ada sistem baru yang mengatur perguruan tinggi dalam menetapkan biaya pendidikan, khususnya untuk kalangan miskin.
Selain itu, perguruan tinggi seharusnya juga bisa mengadvokasi calon mahasiswa dari keluarga miskin. Dan yang terpenting, jangan sampai kampus-kampus berorientasi pada uang saja, sehingga melupakan unsur akdemisnya. Terlebih, dalam sistem rekruitmen kampus harus benar-benar menampakkan akademis, bukan non-akademis.
Dengan demikian usaha untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas, murah dan merata akan terwujud. Untuk itu, diperlukan kerja sama dan sinergi antarsemua pihak untuk memperbaiki pendidikan kita, sehingga bangsa ini bisa berubah ke arah yang lebih baik. Wallahu a’lam bi al-Shawab.
Mokhamad Abdul Aziz
Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI)
IAIN Walisongo Semarang
Peneliti di Monash Institute
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !