Secangkir "Cafe-In" Kemiskinan - Berita Kampus I Informasi online Mahasiswa
Headlines News :

Info Beasiswa

Info Beasiswa Lainnya... »

Label 1

Komunitas

INFO LOMBA

Info Lomba Lainnya... »
Home » , , » Secangkir "Cafe-In" Kemiskinan

Secangkir "Cafe-In" Kemiskinan

Written By Wacana Kampus on 07 Juli 2012 | 08.54.00

Image: CorbisDALAM sejarah, kemiskinan disebut sebagai pupuk karena ialah yang menyuburkan masalah sosial lainnya, dipandang sebagai masalah sosial yang strategis karena ialah yang mewujudkan dilema panjang masalah-masalah kehidupan yang lain. Ya, karena kemiskinan adalah nenek moyang penggugur bhakti kesejahteraan umum sebagai amanat Undang-undang Dasar ’45.



Dekade terus berputar, kepemimpinan juga sudah dipergilirkan. Tidak menutup mata para pemimpin dalam kampanye-kampanye pemilunya untuk berupaya keras menghadirkan negara Indonesia yang menjadi kian sejahtera, masyarakat bisa adil mendambakan dan berkesempatan mencicipi kemakmuran. Tapi apalah hendak dikata, tepatnya itulah yang lebih pantas disebut sebagai bualan kecil kampanye politik. Dan tak akan berkesudahan kalau hanya duduk dan menudingkan jari serta teriak lantang menyuarakan “Pemimpin dzalim, keji dan tidak pro rakyat”. Sekilas mungkin para pemangku kebijakan akan gentar, namun jangan pungkiri angin sepoi-sepoi yang hadir dengan godaan iman akan senantiasa bertubi hadir dan mengajak mereka larut dalam keacuhan. Mereka hanya akan diam sesaat dan kencang lari meninggalkan amanat perbaikan yang kita titipkan.



Sudahlah, memang saatnya kita tawarkan mereka meriam untuk senjata berbenah. Mengingatkan akan janji suci kampanye kenegaraan yang mereka promosikan. Dengan membisikkan perlahan, bahwa kita sekali-kali hanya bertugas menyeru dan mengingatkan.



Candu Kecil Kemiskinan

 

“Secangkir cafein dalam kopi tampaknya tidak akan merusak hidupmu”. Semboyan kecil yang sering digunakan mahasiswa untuk mengejar kerja tugas, laporan praktikum atau skripsi dan persiapan sidangnya. Begadang adalah tujuan awalnya, namun cafein tetap ternilai sebagai candu mahasiswa, sekali mencoba maka ketagihan seterusnya. Demikianlah sama halnya dalam konteks ke-Indonesiaan yang sekarang. Masih membayang warisan dari seorang presiden terdahulu, yang menawarkan pada rakyat akan arti kesejahteraan dengan mengajarkan berhutang. Tak jauh, rakyat juga yang harus menanggungnya. Dengan dalih kesejahteraan untuk berhutang. Manipulasi dan ilusi. Itulah keadaannya. Tapi sudahlah, hentikan penyesalan dan kembali lanjutkan perbaikan.



Kemiskinan yang diawali dari keasyikan berhutang untuk menjamu kesejahteraan sudah diperkenalkan, sampai hadir prinsip “ternyata hutang itu menyenangkan” maka dilanjutkan pelaksanaannya. Pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, membangun Indonesia dengan dalih otonomi daerah ataupun tawaran program demi program dengan menjalankan politik hutang. Karena hutang yang menjadi salah satu kemiskinan sudah dirasakan nikmat, mantap dan sedap. Tepat! Berhutang untuk kemiskinan sudah menjadi candu kenegaraan.



Rehabilitasi Pe_Candu (Penyandu)

 

Dalam satu program pemerintah yang bergerak di ranah sosial, sudah mulai bertebaran panti-panti yang digunakan untuk lahan rehabilitasi para pencandu narkoba. Mungkin tidak lama lagi, para pecandu cafein pun juga layak untuk dimuseumkan (baca: direhabilitasikan) agar mengenal kesembuhan dan kembali bisa menjalankan keberfungsian sosial dalam kehidupannya. Dan kini masih ada rantai kekar untuk menarik perumpamaan tersebut dalam konteks dan skala Indonesia secara keseluruhan. Indonesia yang sudah dari dulu memiliki kecanduan untuk berhutang memerlukan upaya rehabilitasi pada para pelaksana pemerintahan (eksekutif) ditemani dengan pembuat aturan (legislatif) sebagai tahap awal. Selain itu, sepertinya perlu diantarkan kalangan yang biasa mengesahkan (yudikatif) untuk mendatangi panti-panti rehabilitasi bernama pendidikan yang cerdas dan terarah. Pendidikan yang memberikan citra kejujuran dan mengenalkan arti tanggung jawab dan kepedulian. Kembalikan pada ranah kesadaran, karena hakikat dasar pendidikan adalah sebuah upaya sadar untuk mengikuti rencana sistematis dalam penanaman nilai.



Jika mereka sudah mampu menyadari tugas dan tanggung jawabnya, saatnya mereka dikeluarkan dari panti rehabilitasi dan dikarantina ulang sebagai tataran uji coba kelayakan mereka, sudah bisa dikembalikan ke masyarakat atau belum. Di manakah di bawah arah masa karantina dalam penanganan kemiskinan ini? Membawa mereka pada peradilan rakyat akan memberikan kebebasan pada rakyat untuk melihat dan memberikan kontrol sosial dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban para wakilnya.



Jauh dan Tergantikan

 

Sebuah upaya rehabilitasi tidak akan berhasil manakala tidak dengan disertai akan adanya dukungan dari lingkungan yang kondusif. Maka di tataran Indonesia pun juga butuh adanya upaya menjauhkan eks pecandu cafein itu dengan segala sesuatu yang berbau cafein. Akan sukses ceritanya jika posisi yang dulunya ditempati cafein diganti dengan zat yang lebih manfaat. Semisal air putih dan minuman menyehatkan lainnya. Minuman menyehatkan seperti apa yang harus ditawarkan ke Indonesia agar tidak mulai kecanduan menggunakan sistem hutang untuk kesejahteraan? Dengan memberikan keterampilan pada Indonesia dalam aspek pemanfaatan segala sumber yang ada seiring dengan pencucian otak subsistem Indonesia dan menanamkan nilai “Indonesia terlalu malu untuk berhutang”. Keterampilan itu berupa manajemen pengelolaan sumber daya alam dan segala hal maupun kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia.



Dengan demikian, Indonesia akan lupa dengan cafein yang dulu telah membuatnya menyandu. Dengan merasakan keasyikan bercengkerama melalui pemberdayaan terarah, maka optimalisasi segala kekayaan yang sudah ada dan dimiliki Indonesia akan berjalan. Seiring dengan menawarkan program yang bijak dan merakyat juga tetap merangkul rakyat untuk mengembalikan kepercayaan suci yang telah mereka gadaikan karena keserakahan.



Segenap rakyat Indonesia punya kebutuhan sosial, mereka membutuhkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan tersebut dan mereka merindukan terpenuhinya materi atas fisik, sosial, psikologis maupun spiritual di negaranya sendiri. Dan amanat itu masih akan dititipkan pada pemimpin bijak dan merakyat. Sehingga teori yang dikemukakan Piven dan Clowardn dan Swanson akan nampak benarnya, karena adanya kebutuhan mereka ingin mendapatkan penghasilan untuk membawa materi guna memenuhi tuntutan kebutuhan.

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Nasional

More on this category »
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Berita Kampus I Informasi online Mahasiswa - All Rights Reserved
Original Design by Creating Website Modified by Adiknya